Masalah kesenjangan digital (digital divide) di Indonesia sebenarnya banyak dipengaruhi oleh tidak meratanya pembangunan infrastruktur jaringan komunikasi dan regulasi di berbagai daerah. Sebagai contoh, adanya perbedaan pola hidup antara masyarakat perkotaan dan pedesaan di daerah-daerah yang sudah maju. Masyarakat perkotaan di daerah yang sudah maju mempunyai kemampuan dan wawasan yang lebih tinggi akan teknologi informasi dibandingkan masyarakat perkotaan yang hidup di daerah kurang maju. Demikian pula, masyarakat pedesaan di daerah yang sudah maju, mereka akan mempunyai pengetahuan yang sedikit lebih tinggi untuk mengenal teknologi informasi dibanding masyarakat pedesaan di daerah yang kurang maju (bahkan tidak terjangkau jaringan komunikasi sama sekali).
Padahal, jika ditilik dari antusiasme masyarakat itu sendiri, bisa dikatakan bahwa masyarakat yang pernah mengalami usia anak-anak hingga remaja di milenium ketiga ini, dipastikan sudah mengenal piranti cerdas yang disebut komputer. Dengan demikian, antusiasme untuk mengenal lebih jauh tentang komputer dan internet bagi kebanyakan masyarakat sangat tinggi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
Kepemilikan komputer bagi setiap individu di masyarakat bukanlah menjadi sesuatu yang sulit didapatkan untuk saat ini, mengingat harga komputer yang semakin hari semakin terjangkau dengan berbagai pilihan. Kendala serius yang dihadapi pemerintah untuk mewujudkan masyarakat informasi justru terletak pada cara pandang masyarakat mengenai kebergunaan komputer itu sendiri yang tidak hanya dipatok sebagai barang mewah yang kaya hiburan. Akan tetapi, sudah saatnya kita sebagai ahli teknologi informasi meyakinkan dan melatih masyarakat untuk mengenalkan bahwa komputer adalah piranti cerdas yang mampu meningkatkan produktivitas, lapangan kerja, dan ketersediaan informasi yang cepat dan mudah digunakan di berbagai aspek bidang kehidupan.
Peran mahasiswa teknologi informasi untuk mendukung pemerintah dalam mewujudkan masyarakat informasi di tahun 2025 tidaklah mustahil jika dicanangkan sejak sekarang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dan dapat direalisasikan secara berkelanjutan yaitu melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang mengangkat jargon Pemberdayaan Pembelajaran Masyarakat, yang diadakan setiap semester di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tidak ada salahnya apabila pihak universitas dan pemerintah bekerja sama untuk membentuk tema khusus yang berkaitan dengan pengenalan teknologi informasi di masyarakat, sedangkan mahasiswa bertindak sebagai pelakunya.
Sejumlah keterbatasan yang menjadi faktor pendukung di lapangan juga harus dipersiapkan terlebih dahulu. Misalnya dengan melakukan survey daerah pelosok yang sudah terjangkau listrik, jaringan telepon, dan internet. Selain itu, juga perlu dilakukan penelitian mengenai kondisi sosial, budaya, dan pendidikan masyarakat setempat untuk mengetahui tingkat antusiasme dan kesadaran masyarakat untuk menyongsong masyarakat informasi di masa depan. Hal ini bukanlah menjadi hal yang sulit apabila sudah benar-benar direncanakan dan ditanggapi menjadi masalah yang fundamental oleh pemerintah.
Beberapa waktu yang lalu, penulis telah mengikuti program KKN PPM yang kebetulan mengangkat tema pokok teknologi informasi. Salah satu kegiatan utama yang diadakan yaitu pengenalan dan pelatihan komputer kepada masyarakat dan pamong desa di Desa Argomulyo, Cangkringan, Sleman. Daerah tersebut dapat dikatakan termasuk daerah yang sudah merupakan perpaduan antara pedesaan dan perkotaan, dimana masyarakatnya sudah cukup mengenal dunia teknologi informasi, tetapi masih menjaga kebudayaan asli setempat. Dari hasil pengamatan di lapangan, antusiasme mereka ketika mengikuti kegiatan tersebut sangatlah tinggi, dengan peserta yang sebagian besar adalah remaja kawula muda. Lain halnya dengan pelatihan yang dilakukan untuk pamong desa yang rata-rata berusia di atas empat puluh tahun, antusiasme mereka untuk belajar dunia komputer sangat kecil. Melihat kenyataan tersebut, level usia masyarakat yang hidup di era komputerisasi juga harus diperhatikan untuk memudahkan akselarasi kemajuan teknologi informasi di tahap selanjutnya.
Langkah konkrit yang dapat dilakukan oleh seorang mahasiswa untuk mengatasi kesenjangan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai tahap dan metode pembelajaran. Pertama, diawali dengan sosialisasi dan pengenalan yang mendasar tentang pentingnya masyarakat informasi agar dapat bersaing dengan dunia global. Kedua, perlunya pelatihan dan pembelajaran secara bertahap sesuai dengan kemampuan sumber daya dan prasarana yang dimiliki setiap individu masyarakat. Ketiga, menanamkan pola pikir masyarakat akan pentingnya media informasi untuk meningkatkan produktivitas kerja di berbagai aspek kehidupan. Untuk itu, sudah saatnya peran mahasiswa teknologi informasi dibantu oleh pemerintah dan masyarakat digalakkan di berbagai pendidikan tinggi Indonesia untuk menghadapi masalah kesenjangan digital yang terlalu renggang, sehingga kelak mimpi Indonesia mewujudkan masyarakat informasi benar-benar bisa dirasakan setiap lapisan masyarakat di mana pun mereka tinggal.
Lalu pengertian dari kesenjangan digital sendiri itu pun yang saya ketahui adalah :
kebanyakan orang mengartikan digital divide itu adalah jarak antara orang yang menggunakan digital media dan internet terhadap orang yang sama sekali tidak bisa mengakses media tersebut. perbedaan didalam kepemilikan dan penggunaan akses pada media tersebut sangat berpengaruh terhadap pengakseskan informasi dari internet oleh komunitas yang merugikan dan juga memperkuat ketidaksamaan sosio-ekonomi yang didasarkan marjinalisasi kelas orang miskin dan beberapa bagian didunia.
Beberapa orang percaya bahwa pertanyaan di dalam kasus digital divide merupakan multi dimensi dan lebih rumit jika hanya mempertanyakan pengaksesan digital media dan internet ke semua orang dan negara. teknologi itu hanya membutuhkan keahlian dan kemampuan dari individu dan komunitas bagaimana mereka menggunakan digital teknologi dan internet sangat effektif untuk menghadapi kebutuhan sosio-ekonomi dan politik.
Antisipasi untuk kesenjangan digital
Banyak negara, termasuk Indonesia, bersiap-siap pindah dari TV analog ke TV digital terresterial. TV digital terresterial bisa digelar melalui layanan broadband bergerak. Mengantisipasi peralihan dan juga jelang lelang spektrum dividen digital di Jerman, NSN (Nokia Siemens Networks) mulai memproduksi modul frekuensi radio Flexi Multiradio Base Station 800MHz yang siap untuk LTE (long term evolution).
“Sebagian negara besar di Eropa, dan beberapa negara di Timur Tengah, Afrika dan Asia, tengah mengevaluasi pita frekuensi ini untuk penggelaran LTE. Menyadari peluang yang ditawarkan dividen digital ini bagi para operator, kami senantiasa mengikuti perkembangan dan kini telah mulai memproduksi BTS yang beroperasi di pita frekuensi 800MHz, dengan penggelaran komersial ditargetkan mulai pada semester kedua 2010,” ujar Thorsten Robrecht, (Head of LTE product management, Nokia Siemens Networks).
Untuk LTE di daerah pedesaan, frekuensi 800MHz menarik karena jangkauannya yang lebih luas, yang bagi operator berarti efisiensi biaya. Jangkauan pita 800MHz memungkinkan operator untuk mencakup satu daerah tertentu dengan situs menara yang lebih sedikit jika dibandingkan frekuensi-frekuensi yang lebih tinggi. Mereka juga tidak perlu mengganti BTS. Pita 800MHz pun telah ditetapkan untuk komunikasi broadband bergerak oleh para pemangku jabatan industri dan regulator di ajang World Radio Conference 2007.
Penasaran dengan apa yang disebut Multiradio Flexi Base Station? Ini adalah BTS LTE yang paling ringkas dan paling hemat energi. BTS ini sudah digunakan oleh mayoritas pelanggan WCDMA Nokia Siemens Networks.
Desainnya unik, terdiri dari sebuah modul sistem umum (yang bekerja di semua gelombang frekuensi) dan sebuah modul frekuensi radio (RF) untuk frekuensi tertentu yang digunakan dalam jaringan. Modul RF untuk versi 800MHz kini sedang dalam tahap produksi. Flexi Multiradio Base Station mendukung GSM/EDGE, WCDMA/HSPA dan LTE.
“Sebagian negara besar di Eropa, dan beberapa negara di Timur Tengah, Afrika dan Asia, tengah mengevaluasi pita frekuensi ini untuk penggelaran LTE. Menyadari peluang yang ditawarkan dividen digital ini bagi para operator, kami senantiasa mengikuti perkembangan dan kini telah mulai memproduksi BTS yang beroperasi di pita frekuensi 800MHz, dengan penggelaran komersial ditargetkan mulai pada semester kedua 2010,” ujar Thorsten Robrecht, (Head of LTE product management, Nokia Siemens Networks).
Untuk LTE di daerah pedesaan, frekuensi 800MHz menarik karena jangkauannya yang lebih luas, yang bagi operator berarti efisiensi biaya. Jangkauan pita 800MHz memungkinkan operator untuk mencakup satu daerah tertentu dengan situs menara yang lebih sedikit jika dibandingkan frekuensi-frekuensi yang lebih tinggi. Mereka juga tidak perlu mengganti BTS. Pita 800MHz pun telah ditetapkan untuk komunikasi broadband bergerak oleh para pemangku jabatan industri dan regulator di ajang World Radio Conference 2007.
Penasaran dengan apa yang disebut Multiradio Flexi Base Station? Ini adalah BTS LTE yang paling ringkas dan paling hemat energi. BTS ini sudah digunakan oleh mayoritas pelanggan WCDMA Nokia Siemens Networks.
Desainnya unik, terdiri dari sebuah modul sistem umum (yang bekerja di semua gelombang frekuensi) dan sebuah modul frekuensi radio (RF) untuk frekuensi tertentu yang digunakan dalam jaringan. Modul RF untuk versi 800MHz kini sedang dalam tahap produksi. Flexi Multiradio Base Station mendukung GSM/EDGE, WCDMA/HSPA dan LTE.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar